Sabtu, 29 Agustus 2009

BUFFON: “Tak Ada yang Bisa Kalahkan Kami”


GIANLUIGI BUFFON: “Tak Ada yang Bisa Kalahkan Kami”

Lahir dari keluarga atlet, tak sulit bagi Gianluigi Buffon menebak garis hidupnya. Saat remaja lain berpesta merayakan sweet seventeen, Gigi sibuk berlatih dibawah mistar gawang. Ia menggores debut Serie A bersama Parma. Di musim keempatnya, Parma keluar sebagai jawara UEFA Cup. Puas dengan 168 laga di Parma, Gigi cabut ke Juventus 2001. Harganya menembus rekor transfer kiper dunia, €52 juta.

Pria asli Italia ini termasuk pemain yang setia. Ketika Juve terlempar ke Serie B akibat skandal calciopoli, Gigi tidak beranjak dari Olimpico. Padahal, kala itu sederet klub-klub besar antri ingin merasakan servis Gigi. Dengan tegas pria bertinggi 191 cm ini menolak dan stay bersama Bianconeri. Kesetiaannya terbayar dengan meraih gelar cadetti (Serie B) pada 2007.

Ia merasakan cap pertamanya dengan timnas Italia di usia 19, menggantikan Gianluca Pagliuca pada kualifikasi Piala Dunia 1998. total, 96 kali sudah ia membela Azzurri sejak 1997.

Diusianya yang ke-32, ayah dua anak ini masih menjadi andalan Juventus dan Italia. Gigi tak sungkan berbagi kisah mengenai hidupnya. Mulai dari keluarga, masa kecil hingga pencapainnya. Seperti apakah personality kiper terbaik dunia ini? Berikut kutipan wawancaranya.

Waktu Juve turun kasta ke Serie B, kenapa Anda bertahan?

Kalau Juve tetap di Serie A, besar kemungkinan saya pindah ke Milan untuk mencari tantangan baru. Tapi, turun ke Serie B sudah cukup menantang dan rasanya saya membuat langkah yang tepat. Mungkin itu terdengar tak normal, tapi yang pasti itu pilihan yang amat simpel. Kalau Juve jatuh, saya harus ikut bersamanya. Juve yang membesarkan saya. Saya utang budi karena itu.

Bagaimana rasanya menjadi kiper terbaik dunia tapi main di Serie B?

Dalam hidup, saya diajarkan untuk menjadi orang yang bisa d eal dengan keadaan. Kalau Anda ingin maju dan berkembang, Anda harus bisa melewati berbagai kesalahan, halangan dan rintangan. Dalam 10-20 tahun ke depan, baru terasa manfaatnya. Begitu pula dalam sepakbola.

Anda berasal dari keluarga olahragawan. Ibu pelempar cakram, Ayah angkat besi, Adik voli dan basket. Anda pernah tergoda melakukan olahraga lain waktu kecil?

Well, sepakbola adalah olahraga kesukaan saya. Saya pernah ikut Atletik, bola voli dan juga basket. Tapi tetap sepakbola nomor satu.

Siapa pemain favorit Anda?

Saya suka Lothar Mattheaus, Tomas Skuhravy dan Thomas Nkono sebagai kipernya. Saya terkesan begitu melihat Nkono main di Piala Dunia 90, Ia jadi pahlawan saya. Saya selalu suka yang underdog. Di Italia, saya mendukung Genoa dan Pescara ketika sebagian besar orang mengikuti Marradona dan Napoli.

Kok bisa suka sama Nkono? Waktu itu Anda belum jadi kiper kan?

Betul, sampai usia 13, saya adalah striker. Suatu hari saya diminta jaga gawang, ternyata berjalan lancar. Seolah-olah semuanya sudah digariskan. Empat tahun selanjutnya saya main di Serie A. Ketika semua anak muda ingin ke klub besar, saya malah ke Parma. Pengalaman saya memang tak ‘normal’, tapi itu justru membantu saya kedepannya.

Membantu bagaimana?

Hal itu membentuk gaya bermain saya. Saya dipaksa bergerak sesuai insting. Apa yang paling tepat dilakukan saat itu. Saya bisa bereaksi secara refleks, seperti tak berproses.

Bagaimana rasanya saat mengangkat trofi Piala Dunia 2006?

Bagai mimpi menjadi kenyataan. Pasti itu yang dirasakan semua pemain. Saya merasa begitu beruntung. Benar-benar senang karena bisa membuat seisi Italia senang.’

Credits: ProGOL!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar